✏️ Deskripsi Buku
Judul : Lembaga
Budi
Penulis : Prof.
Dr. HAMKA
Penerbit :
Republika
Tahun : 2018
✏️Review
Membuka halaman pertama buku ini pembaca disuguhkan sebuah syair indah.
"Tegak
rumah karena sandi
Runtuh budi
rumah binasa
Sendi bangsa
ialah budi
Runtuh budi
runtuhlah bangsa"
Yups, ketinggian budi menjadi modal utama dalam membangun masyarakat. Ketinggian budi terbukti telah mengantarkan peradaban Islam pada masa kejayaannya. Sedang runtuhnya budi menjadi penyebab kehancuran. Bukan hanya Islam namun peradaban lain pun demikian.
Buya melalui tulisan setebal 206 halaman menyuguhkan siraman segar bagi rohani ditengah zaman yang semakin gersang. Membaca buku ini mencungkil sisi-sisi baik yang selama ini mulai pudar. Banyak kisah yang dituangkan oleh Buya sangat patut untuk diperhatikan.
Buku Lembga
Budi dipecah dalam 11 bab. Mula-mula membahas tentang Budi yang mulia. Satu hal
yang telah terinstall dalam diri tiap manusia sejak keberadaannya di dunia. Sayangnya,
pola didik dan lingkungan sangat berpengaruh dalam perkembangannya.
Pada bab II dipaparkan sebab-sebab budi menjadi jelek hingga akhirnya timbul penyakit budi. Pembahasan penyakit budi dipaparkan pada bab tersendiri dengan mendaur pendapat-pendapat yang pernah dipaparkan oleh ahli ilmu Islam seperti Ibnu Arabi, Ibnu Hazam, juga Imam Al Ghazali. Satu hal yang kerap diulang-ulang oleh para ahli ilmu yaitu tentang kesombongan. Hal yang begitu akrab dan kerap mengaburkan kesadaran akan posisi kita sebagai mahluk yang lemah.
Untuk itulah, setelah
membahas penyakit budi, Buya masuk dengan memberi contoh-contoh budi yang harus
dimiliki oleh mereka yang memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Juga budi yang harusnya dimiliki oleh
orang pemerintahan, raja, pedagang, pengarang (penulis), juga para pemilik lapangan
pekerjaan.
Pada bagian pemerintahan, Buya menyitir beberapa surat dari para pemimpin di zaman kejayaan Islam. Isi yang luar biasa yang niscaya jika diperhatikan dan dijalankan maka kebaikan dan kejayaan akan kembali. Pemerintah dan rakyatnya bisa seiring sejalan dalam memajukan sebuah bangsa.
Ada satu kisah yang menurut saya sangat membekas ketika Buya ditanya tentang mana yang lebih baik anatara Pak Haji yang selalu melaksanakan shalat tetapi kasar pada hewan, ataukah dokter non muslim yang sangat penyayang pada hewan dan gemar memberi pengobatan secara gratis?
Buya memamparkan sebuah jawaban telak yang mencirikan ketinggian pemahaman. Dengan gaya bertutur khas Buya kita seperti sedang duduk di depan beliau sembari menyerap sari-sari ilmu dan pemahaman.
Ditutup dengan 99 renungan Budi yang sudah semestinya dijadikan bahan kontemplasi. Bagi saya buku ini seumpama kado dari Allah yang datang bersaman dengan waktu kehilangan. Impian-impian yang hancur. Secara acak saya membuka halaman terakhir dan menemukan renungan ke 99
“Betapapun kita
memegang kemudi bahtera menuju pelabuhan yang dicita-citkan, namun yang
menentukan arah agin adalah Dia. Sebelum sampai ke tempat pehentian, janganlah
lekas puas dan gembira jika nasib selamat, tetapi bersyukurlah! Dan jika angin
ribut mengguncangkan bahtera sehingga seakan-akan tiang akan patah, janganlah
berguncang jiwamu sebab sesudah angin ribut itu alam akan terang kembali, sebab
itu hendaklan sabar. Imbangan pelajaran hidup adalah antara syukur dan
sabar”
Ya, kadang kita terlalu takabur dalam berencana. Hingga Allah berikan sentilan untuk kembali menyadarkan bahwa ada Dia yang memiliki kuasa atas segala.
Kalimat diatas hanya lah sedikit dari nasehat dalam buku ini. Masih banyak lagi sari-sari nasehat kehidupan yang bisa didulang dari lembar demi lembar buku Lembaga Budi.
So, bagi Sobat
Waode yang berniat memiliki bukunya, langsung saja kontak IG @bukurepublika.
comment 0 Comment
more_vert