“Selalu ada hal menarik saat segala sesuatu dilihat berlandaskan ilmu”
Yups... itulah yang saya
rasakan saat mengunjungi benteng terluas di dunia untuk ke sekian kalinya. Jika
sebelumnya saat berkunjung sekedar melampiaskan hasrat foto-foto, kali ini
terasa lebih spesial sebab dalam rangka menjawab rasa penasaran. Banyak hal
baru yang saya ketahui dan menuntut untuk dituntaskan.
Oh ya, bagi yang berpikir bahwa
benteng terluas di dunia ada di luar negeri, segeralah direvisi. Benteng
terluas di dunia berada di Indonesia. Tepatnya di Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara. Hal ini sudah diakui secara global melalui keputusan Museum Rekor
Indoensia (MURI) dan Guiness Book of World Record pada bulan September 2006.
Ok, kembali ke rasa
penasaran tadi. Rasa penasaran saya bermula saat menemukan ‘perspektif baru’
tentang sejarah melalui buku Beyond The Inspiration karya Felix Y Siauw.
Jika dulu belajar sejarah sekedar menghafal nama orang, tempat, tahun, dan
tanggal, maka dalam perspektif baru kita diajak memunguti hikmah-hikmah
bertebaran dari setiap peristiwa sejarah.
Saya semakin bersemangat
ketika mendapati fakta bahwa Islam pernah menjadi mercusuar peradaban dunia
selama berabad-abad. Menjadi perantara peradaban kuno dengan peradaban modern
hari ini.
Fakta tersebut sekaligus
jadi pengobat rasa insecure sebagai muslim. Bagaimana tidak, sejak mulai mengetahui, otak
saya sudah disusupi bahwa penemu segala teori dan ilmuwan adalah non muslim
dari negeri-negeri Eropa. Jadilah selama sekolah saya kerap bertanya-tanya, kok
tidak ada ya ilmuwan muslim? Apa yang bisa dibanggakan dengan menjadi seorang
muslim?
Efeknya saya jadi merasa bahwa selamanya muslim
akan selalu tertinggal dan merasa wajar tidak memiliki kiprah apa-apa.
Mempelajari sejarah
‘perspektif baru’ bukan sekedar sebagai bahan nostalgia kejayaan tapi menjadi
cambuk agar saya berkarya dalam peradaban sebab para muslim pendahulu memiliki
kiprah-kiprah fantastis pada masanya. Jika saya tak bisa mengulang karena
terlambat menyadari, maka ini akan menjadi warisan cita-cita pada generasi
selanjutnya.
Belajar sejarah akan
semakin asyik ketika dikemas dengan penyampaian yang enak dan sarat hikmah ala
Ustadz Budi Ashari, Ustadz Adian Husaini, Ustadz Tiar Anwar Bachtiar penulis
buku Jas Mewah (Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah dan Dakwah),
Ustadz Salim A Fillah, Mba Uttiek penulis serial Jelajah 3 Daulah, Mas Edgar
Hamas. Rasanya jadi makin ketagihan. Sejarah bukan hanya tentang sebuah peristiwa
namun bagaimana setiap persitiwa mampu memberi pesan untuk perbaikan ke
depannya.
Setelah banyak baca
tulisan beliau-beliau yang namanya tertera di paragraf atas bahwa masuknya
Islam selalu dibarengi budaya literasi, persepsi saya mulai berubah ‘ Di
Tanah Buton dan Muna pasti ada nasakah lama. Hanya saja tersembunyi
entah dimana.’
Daaaann....eng..ing..eng...
Pikiran kedua ternyata benar adanya. Beberapa bulan silam adik saya mengatakan bahwa ia diminta oleh
dosennya untuk meneliti naskah kuno dari daerah sendiri. Tepatnya naskah-naskah
peninggalan Kesultanan Buton.
Woooww... fakta yang
benar-benar baru buat saya. Yang lebih mencengangkan naskah tersebut telah
didigitalisasi oleh pihak Dreamsea. Dreamsea merupakan program
digitalisasi naskah-naskah kuno se Asia Tenggara yang digagas pada Desember
2017 guna mengantisipasi kondisi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang minim
perhatian. Center for the Study of Manuscript Cultures (CSMS)
Universitas Hamburg, Jerman bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah meluncurkan program
bertajuk Dreamsea 24/2/17 siang di Perpustakaan Nasional RI. Program ini
didanai lembaga amal Arcadia. Berjalan mulai Juni 2018 hingga 2022.
Melihat fakta tersebut,
beragam pertanyaan berseliweran. Mengapa semuanya seolah terkubur dan terputus
dengan genearsi selanjutnya? Mengapa tak ada yang peduli dengan warisan
literasi tersebut?
Ah, mungkin ini jadi salah
satu efek penjajahan yang menganggap bahwa orang Indonesia 97 % buta aksara
pada awal kemerdekaan (gln.kemdikbud.go.id). Ternyata semua itu HOAX semata.
Mereka mungkin buta huruf latin, tapi dalam berliterasi, mereka justru sangat
berkembang.
Peradaban Buton yang erat
kaitannya dengan Islam, tentu mewarisi budaya literasi. Sebab, Islam ketika
memasuki suatu peradaban baru, sepaket dengan budaya ilmu dan literasi. Menjunjung
tinggi semangat pengembangan pengetahuan.
Bersebab Islam dibawa
dalam bahasa Arab sebagai bahasa internasional saat itu maka yang berkembang
saat itu tentulah aksara Arab. Kakek saya sendiri sangat mahir menulis huruf
Arab gundul dan sangat suka menulis. Jadi keliru jika dianggap buta
aksara. Mereka sangat melek aksara hingga mampu meninggalkan warisan literasi
yang sangat berharga.
Salah satunya berada di rumah bapak Mujazi Mulku
Zahari. Salah seorang penyimpan naskah kuno Buton. Keluarga beliau merupakan
keturunan sekertaris Kesultanan Buton. Ayah beliau Abdul Mulku Zahari adalah sekertaris terakhir Kesultanan Buton. Sultan
terakhir Sultan Falihi (1937-1960) memberinya kesempatan luas untuk menghimpun
naskah di Kesultanan Buton. Naskah yang dijaga Pak Mujazi berbahasa wolio
dengan tulisan arab gundul yang dibaca seperti Al-Quran dari kanan ke kiri.
Bapak Mujazi dulunya
membuka Museum Keslutanan Buton namun berhubung beliau sakit-sakitan, museum tersebut
di tutup sebab tak ada yang melanjutkan. Harapnnya pemerintah daerah maupun
provinsi bisa memberikan perhatian akan hal ini.
Keinginan melihat
naskah-naskah tersebut harus gagal sebab beliau saat itu sedang sakit sehingga tidak
dapat mengantarkan kami. Beliau menuturkan kesedihannya sebab anak-anaknya tak
ada yang tertarik pada naskah-naskah tersebut. Ada raut kesedihan dari wajah
Bapak Mujazi mengingat siapa yang akan menjadi penerusnya menjaga naskah
tersebut.
Ah, dibalik kebanggan kita
memiliki benteng terluas di dunia, terdapat asa seorang penjaga naskah yang
menanti penerus. Semoga pemerintah segera mengambil langkah dan memberi perhatian
pada warisan berharga tersebut.
comment 0 Comment
more_vert