Salah satu hal yang paling kutakuti adalah telpon di tengah malam sebab biasanya itu kabar duka. Dan tepat dinihari tadi, handphone ibu berdering. Tampaknya beliau pun terbangun dan segera mengangkat telpon. Dengan mata masih tertutup, kupasang indra pendengaran dengan baik. Bersiaga untuk menenangkan ibu jika telpon itu membawa kabar buruk.
"Apa? Telur rebus? Informasi dari mana?" Ibu tampak mengajukan pertanyaan pada si penelpon.
"Telur rebus?" Aku membatin antara senang dan heran. Senang karena bukan kabar duka yang diterima namun heran mengapa ada yang menelpon tengah malam hanya untuk membahas telur rebus. Mungkin aku yang salah dengar, kupastikan kembali dengan berkonsentrasi mendengar percakapan ibu.
"Tapi dirumah sini tidak ada telur."
Ternyata benar. Aku tak salah dengar. Ibu masih terus berbicara dengan orang diseberang sana "ok...ok...nanti saya keluar cari." Ibu tampak bergegas keluar kamar.
Sesegera mungkin aku bangkit dari tempat tidur. Tidak mungkin membiarkan ibu keluar tengah malam sendirian.
"Ibu, ada apakah?" Kuajukan pertanyaan memperjelas duduk masalah
"Itu tadi tantemu telpon katanya ada bayi baru lahir lansung bicara. Bayi itu menyuruh orang-orang untuk rebus telur sebanyak orang dalam rumah. Terus dimakan. Itu obat untuk menangkal Corona" ibu menjelaskan panjang lebar.
Ingin rasanya tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan beliau yang bisa dipastikan itu hanya hoax. Tapi urung setelah melihat ekspresi ibu yang super serius.
"Jadi, ibu mau keluar? Ini sudah tengah malam. Tidak akan ada warung yang buka jam begini." Ku lobby ibu agar tak nekat keluar tengah malam demi mencari telur.
"Pokonya saya mau tetap keluar. Ini untuk obat. Terserah kalian mau percaya atau tidak." Ibu sepertinya bisa menangkap ekspresi ketidakpercayaan ku.
Tak mau membuat ibu semakin marah, ku turuti beliau ke ruang tamu. Dari luar rumah terdengar suara samar-samar. Rupanya bukan kami saja yang mendapat informasi tersebut.
"Nah...nah...itu ada orang bercakap-cakap. Sepertinya mereka juga mendapat informasi yang sama." Ibu semakin bersemangat. Disibaknya jendela dan memanggil tetangga. "Nek Siba, kalian punya telur?"
"Tidak, tapi saya akan pergi cari". Nek Siba menjawab dengan antusiasme yang sama.
Aku hanya terbengong. Tak berani lagi menghalangi ibu sebab dijalan tampaknya banyak orang bergegas ke warung-warung terdekat.
"Elis, masih ada telurmu?" Ibu bertanya pada mama Elis. Tetangga depan rumah yang tampak membuka warungnya.
"Sisa 2 Bu. Saya juga masih mau mencari lagi."
Demi melihat banyak yang menuju ke warung. Ibu urung untuk pergi. Hanya menitip pada tetangga yang tengah menuju warung di simpang jalan. Tak tanggung-tanggung, Ibu memesan 10 biji telur meski dalam rumah kami hanya berempat.
"Ada apakah ini?" Adikku dan suaminya yang sepertinya terbangun setelah mendengar suara ribut-ribut turut bergabung ke teras.
Kutarik ia kedalam rumah. Menjelaskan dengan tawa yang setengah mati kutahan demi menjaga perasaan ibu. "Kalau masih ada ayah, sejak tadi beliau akan tertawa melihat ibu"
Kami kembali keluar dan terheran-heran melihat semakin banyak orang. Salah satu tetangga menginformasikan jika diwarung simpangan sudah kehabisan telur. Yang ingin membeli harus berjalan lebih jauh lagi.
Dari arah kanan rumah, tampak sebuah motor melaju dengan dua orang pengendara. Berhenti tepat di depan rumah. "Ibu-ibu kenapa jadi berkerumun begini? Kan sudah dilarang keluar-keluar. Apalagi ini tengah malam. Berita telur itu berita hoax."
Bapak-bapak pengendara motor tadi ternyata polisi yang geram melihat seluruh kampung digegerkan berita telur ditengah malam. Seolah mendapat angin segar, aku turut memberikan komentar. "Saya juga heran pak. Kalau yang jantungan, bukan lagi meninggal karena Corona tapi bisa-bisa meninggal karena jantungnya kambuh"
"Iya, berita begitu jangan lansung dipercaya. Namanya virus ya diobati. Bukan dengan makan telur apalagi waktunya ditentukan hanya sampai jam 12 malam. Kan tidak masuk akal. Kita ini punya Tuhan. Apa gunanya kita sholat kalau masih percaya hal-hal begitu."
Seorang ibu yang sepertinya baru terbangun dan hanya memakai sarung ikut bergabung. "Ada apa kah ini pak? Saya masih gemetar dibangunkan tengah malam, disuruh cari telur."
Suasana yang tadinya mencekam mendengar ceramah pak polisi mencair dengan menertawai ibu-ibu tersebut. Satu persatu tetangga kembali ke rumah masing-masing membawa kantung berisi telur.
"Ayo Bu kita masuk. Kalau masih ada ayah sudah sejak tadi beliau akan tertawa"
Kejadian seperti ini sebenarnya bukan pertama kalinya menggegerkan kampung. Ketika tsunami mengguncang Aceh, semua orang menjadi parno dengan gempa. Hingga suatu hari di kampung terjadi gempa yang tidak begitu kuat. Entah dari mana asalnya, merebak kabar bahwa gempa tersebut menjadi pertanda kampung kami akan terkena tsunami.
Orang-orang kampung berbondong-bondong menuju ke gunung. Membawa anak-anak dan harta yang bisa diselamatkan. Sejak pagi motor-motor berlalu lalang dari kampung ke arah gunung ataupun sebaliknya.
Alih-alih mengajak kami turut mengungsi, ayah malah asyik dengan pekerjaannya. Kuberanikan diri untuk bertanya "ayah, kita tidak ikut naik ke gunung?"
Ayah hanya tersenyum dan menjawab singkat. "Untuk apa nak?"
"Itu orang-orang sudah naik gunung karena katanya mau tsunami."
"Ooohh itu. Kampung kita kemungkinan terkena tsunami itu kecil sekali. Secara logika, yang terkena tsunami biasanya daerah-daerah yang berhadapan dengan laut bebas. Sedangkan kampung kita ini letaknya di selat. Bisa tsunami kalau pulau Bakealu atau pulau Muna tenggelam. Tapi kalau dua-duanya masih baik-baik saja. Berarti tidak. Atau kalau air laut bisa melewati dua gunung sana, karena dibalik gunung itu ada laut bebas. Tapi kayaknya tidak mungkin kecuali kalau sudah kiamat."
Cukup masuk akal apa yang dijelaskan oleh Ayah tapi tetap tidak mengurangi kekhawatiranku. "Tapi, itu orang-orang banyak yang mengungsi. Ayo lah kita ikut juga."
"Ya sudah. Begini saja. Sebentar lagi waktunya makan siang. Kalian memasak dulu, terus kita makan, nanti setelah itu baru dipikirkan lagi. Karena kalau kita tidak makan, bisa-bisa kita mati bukan karena tsunami tapi karena kelaparan"
Ayah masih tetap pada pendiriannya. Mau tidak mau kami kembali kedalam rumah dengan berbagai pikiran berkecamuk.
Hingga sore hari, tak ada kejadian apa-apa. Jalan kampung yang tadinya lengang kembali ramai. Dipadati oleh orang-orang yang turun gunung. Aku hanya menatap sambil tersenyum dari balik jendela.
Sejak hari itu, aku belajar satu hal dari Ayah. "Gunakan logika untuk berpikir. Jangan sekedar ikut-ikutan."
comment 0 Comment
more_vert