Disclaimer : Alhamdulillah tulisan ini menjadi pemenang dalam Lomba Artikel Nasional Kampung Digital (LANKD). Tujuan saya posting di sini semoga bisa menjadi referensi bagi yang membutuhkan. Tolong jangan di copy paste.
PENDAHULUAN
Jika diibaratkan sebuah kanvas, peradaban manusia adalah lembaran berisi aneka corak dan warna. Satu persatu lembarannya menggurat lukisan sejarah yang membubuhkan banyak pelajaran dari setiap kisahnya.
Dalam setiap putaran roda peradaban, seorang pemimpin memiliki andil besar dan penting bagi masyarakatnya. Keputusan-keputusan penting lebih banyak ditentukan oleh segelintir orang yang memegang posisi kunci. Pada posisi inilah seorang pemimpin dibutuhkan agar tidak terjadi disorientasi dan alienasi.
Salah seorang guru manajemen Peter F Druker mengungkapkan pentingnya keberadaan pemimpin dalam kalimatnya “leader is who that make things happen”. Pemimpin adalah seseorang yang menjadikan sesuatu mewujud nyata.
Betapapun sebuah masyarakat menginginkan perubahan, tanpa adanya seseorang yang mengambil peran menjadi pemimpin maka apa yang diharapkan akan sulit terwujud. Maju mundurnya suatu peradaban dikawal oleh tangan-tangan minoritas para pemimpin.
Dari catatan sejarah kita bisa belajar bahwa pemimpin berkualitas lahir melalui proses panjang pembelajaran. Kita mungkin bertanya, adakah standar baku kurikulum menjadi seorang pemimpin? Standar manakah yang digunakan oleh mereka yang nama dan karyanya begitu harum dalam peran peradabannya?
Tulisan ini akan mencoba meminjam cermin sejarah untuk melihat pemimpin seperti apa yang dibutuhkan oleh generasi saat ini.
PEMBAHASAN
William Strauss dan Neil Howe -pakar sejarah dan penulis Amerika- dalam beberapa bukunya menyebut generasi saat ini dengan istilah generasi millennial. Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Menurut para ahli, generasi ini berkisar pada mereka yang lahir rentang tahun 1980 hingga 2000.
Ciri khas yang dapat kita jumpai pada generasi ini adalah fenomena disrupsi. Sebuah era dimana terjadi banyak perubahan dalam waktu cepat. Teknologi komunikasi, informasi, dan transformasi melaju dengan sangat menggila dan menggilas. Siapa yang tak mampu beradaptasi akan tergilas oleh roda peradaban. Manusia berlomba mencipta inovasi-inovasi baru yang bahkan sebelumnya tak pernah terpikirkan. Pada beberapa sisi kehidupan menjadi semakin mudah.
Namun, dibalik kemilau peradaban yang menyilaukan mata, ada lubang hitam yang tersisa. Krisis multidimensi terus mewarnai dunia dan menjadi bagian kehidupan nyata generasi masa kini. Kita tentu tak asing lagi berbagai krisis yang hadir silih berganti.
Salah satu krisis yang sangat memprihatinkan adalah krisis kepemimpinan. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, dalam Human Development Report yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) mencantumkan sebuah kalimat penting yang menggarisbawahi realita kebangkrutan pemimpin formal di level internasional: "Obstacles to democracy have little to do with culture or religion, and much more to do with the desire of those in power to maintain their position at any cost."
Lalu muncul pertanyaan, ada apa dengan generasi ini?
Mari kita perluas spectrum pandangan kita, Peradaban saat ini menjadikan konsep kehidupan kapitalisme barat sebagai trend setter. Motivasi dari setiap perbuatan bersifat egosentris –peduli terhadap diri sendiri tetapi melupakan orang lain-. Hal ini sejalan dengan pandangan umum kapitalisme menurut Adam Smith “Manusia akan selalu bertindak demi mengejar kepentingan rasionalnya sendiri, atau setidaknya mengejar apa yang diprediksi akan menguntungkannya”
Sikap individualisme inilah yang kemudian menggurat wajah peradaban saat ini. Tak dapat kita pungkiri bahwa segala penemuan dan kemajuan telah banyak membantu manusia. Sayangnya dibalik segala kemajuan yang dihasilkan peradaban ini, kita bisa melihat berbagai macam kegagalan baik itu dalam ranah pribadi maupun secara peradaban.
Kegagalan pribadi bisa dilihat dari semakin tingginya tingkat stres yang terjadi secara merata di seluruh belahan bumi. Bahkan di negara-negara maju tingkat bunuh diri terus meningkat. Kesuksesan materi tak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan. Banyak orang sukses justru menderita. Fenomena ini disebut oleh Dr Pearsall sebagai toxic success -kesuksesan beracun-.
Dalam hal peradaban, kita memiliki ahli dalam berbagai bidang tetapi krisis dengan segala rupanya terus menghantui. Banyak ahli lingkungan namun tak mampu meredam fenomena pemanasan global, banyak ahli ekonomi tetapi ketimpangan hidup si kaya dan si miskin begitu menganga, banyak ahli hukum namun tetap saja pelanggaran hukum menjadi fenomena sosial.
Adakah yang salah dengan pemimpin yang mengawal peradaban kita hari ini? Pemimpin seperti apakah yang masih bisa kita harapkan?
Gagasan “Prophetic Leadership” Sebagai Jawaban Era Disruptif
Berbicara masalah kepemimpinan, ditinjau dari sumber tindakannya terdapat dua model kepemimpinan yaitu konvensional dan spiritual. Kepemimpinan konvensional adalah kepemimpinan yang lazim diterapkan dalam berbagai lembaga formal dan sebagaimana dikemukakan dalam literature-literatur ilmiah selama ini. Kepemimpinan konvensional menggunakan paradigma positivistik atau paradigma ilmiah dalam perilaku kepemimpinannya.
Sedangkan kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang lebih banyak mengandalkan kecerdasan spiritual (ruhani, soul, ruh, hati nurani) dalam kegiatan kepemimpinan. Sinetar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami yaitu ketajaman pemikiran yang tinggi yang sering kita katakan menghasilkan sifat-sifat supernatural: intuisi, petunjuk moral yang kokoh, kekuasaan atau otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan yang benar dan kebijaksanaan.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas kepemimpinan profetik, penulis hendak mengutip perkataan seorang ilmuwan Albert Einstein tentang masalah yang tengah melanda dunia. “The problems that exist in the world cannot be solved by the level of thinking that created them”.
Einstein hendak mengungkapkan bahwa masalah-masalah yang terjadi di dunia saat ini takkan mampu diselesaikan dengan level berpikir yang menciptakannya. Meski tak sampai pada tataran solusi, namun hal ini seharusnya membuat kita berpikir terlebih dengan melihat realitas. Dimana semakin tinggi ilmu pengetahuan, semakin banyak pula masalah yang muncul.
Sudah saatnya kita mengarahkan pandangan pada sesuatu diluar manusia dalam mencari solusi yaitu Sang Pencipta. Dia memberi manusia contoh konkret melalui utusannya yaitu para Nabi. Hal inilah yang membuat penulis merasa tertarik untuk membahas tentang prophetic leadership.
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris “prophet”, yang berarti nabi. Menurut Ox-ford Dictionary “prophetic” adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophe-cy”; “having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”.
Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi “kenabian”. Di antara semua Nabi yang dipercayai oleh umat beragama, sosok Muhammad SAW merupakan paket lengkap yang dapat dijadikan rujukan baik dalam ranah kehidupan pribadi maupun sebagai pembangun peradaban.
Pemilihan sosok Muhammad SAW sebagai tokoh dalam tulisan ini bukan semata karena penulis beragama Islam. Namun dikarenakan beliau adalah sosok nyata yang ketokohannya membekas dalam catatan sejarah. Peri kehidupannya dikaji secara mendalam baik oleh kaum muslim sendiri maupun orang-orang non muslim.
Seorang Yahudi Michael H Hart dalam buku fenomenalnya The 100 : A Ranking of the Most Influential Person in History meletakannya sebagai sosok pertama yang paling berpengaruh karena mampu menggabungkan 2 keberhasilan, secara agama maupun duniawi, secara personal maupun peradaban.
Simak pula pengakuan seorang politisi Prancis tahun 1970 dalam bukunya Historie De La Turqie yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti “Dunia telah menyaksikan pribadi-pribadi agung. Namun, dari orang-orang tersebut ada orang yang sukses pada satu atau dua bidang saja misalnya agama atau militer. Hidup dan ajaran orang-orang ini seringkali terselimuti kabut waktu dan zaman. Begitu banyak spekulasi tentang waktu dan tempat lahir mereka, cara dan gaya hidup mereka, sifat dan detail ajaran mereka.
Tidak demikian dengan orang ini, Muhammad SAW telah begitu tinggi menggapai berbagai bidang pikir dan perilaku manusia dalam sebuah episode cemerlang sejarah manusia. Setiap detail dari kehidupan pribadi dan ucapan-ucapannya telah secara akurat didokumentasikan dan dijaga dengan teliti sampai saat ini. Keaslian ajarannya begitu terjaga, tidak saja oleh karena penelusuran yang dialkukan para pengikut setianya tetapi juga oleh para penentangnya.
Muhammad adalah seorang agamawan, reoformis sosial, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih, dan seorang ayah yang penyayang semua menjadi satu. Tiada lagi dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehiudpan tersebut. Hanya dengan kepribadian seperti dialah keagungan seperti ini diraih.” (Alphonse Marie Louis Part de Lamartine)
Dalam masalah kepemimpinan, penulis hendak meminjam standar yang digunakan Stephen Covey dalam bukunya The 8th Habit : From Effectiveness to Greatness, sebuah buku kepemimpinan yang banyak diajdikan acuan di seluruh dunia. Menurut Covey, ada empat peran kepemimpinan yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin yaitu pathfinding, empowering, aligning, dan modeling.
Pada poin pertama yaitu pathfinding, Muhammad berhasil mengarahkan manusia untuk menempuh jalan pengabdian bukan hanya untuk dunia namun juga untuk akhirat. Para pengabdi dunia takkan bisa berlepas diri dari sifat egosentris, sedang para pengabdi akhirt akan lebih fokus pada peran-peran sosial yang bisa digunakan untuk merubah masyarakat karena adanya kesadaran bahwa siapa yang paling bermanfaat bagi sesamanya, dialah yang layak mendapat predikat sebagai sebaik-baik manusia.
Poin kedua Empowering (pemberdayaan). Muhammad SAW lahir ditanah tandus dengan peradaban yang tidak memanusiakan manusia, tak mengenal budaya ilmu, dan jauh dari standar peradaban maju. Namun dalam waktu beberapa tahun saja pasca dirinya menerima mandat sebagai seorang Nabi, para penghuni tanah itu menjadi orang-orang yang “rakus” pada ilmu, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi digunakan untuk meningkatkan patron peradaban.
Ketiga, Aligning (menyatukan kekuatan) perubahan yang dibawanya tak mengenal istilah one man show. Kerja-kerja peradaban yang dibangun Muhammad SAW tak hanya dibentuk oleh dirinya secara pribadi, dia mendidik sahabat-sahabatnya untuk menjadi sedemikian hebat dan menggoreskan tintas sejarah nan cemerlang.
Poin ke empat yang tak kalah penting adalah Modelling (contoh atas apa yang diajarkan) ketika para pejuang sosialisme memperjuangkan kesetaraan, nayatanya para pemimpinnya hidup dalam kemewahan sedang rakyatnya tertindas. Wajah peradaban kapitlisme lebih ekstrem lagi, yang kaya melahap yang miskin menjadi ciri khasnya.
Muhammad SAW membawa model berbeda dalam sosoknya sebagai pemimpin. Jika masyarakat yang ia pimpin berada dalam masalah, maka ia adalah tameng bagi orang yang dipimpinnya. Segala prinsip hidup yang diajarkan disertai contoh konkret bukan sekadar lip service.
Meski Covey tak memasukkan Muhammad SAW dalam bukunya, tetapi jika standar Covey saja telah menjadikan seorang pemimpin dianggap hebat, itu artinya Muhammad SAW telah melampaui kriteria orang hebat dengan kelengkapan perannya dalam setiap sisi kehidupan.
PENUTUP
Fungsi pemimpin yang sangat besar dalam mengarahkan masyarakat tidak mungkin diperankan oleh orang-orang yang integritas kehidupannya masih diragukan. Prophetic leadership sangat pantas menjadi pilihan generasi saat ini untuk kembali menghadirkan generasi yang sanggup menata peradaban ditengah berbagai krisis yang melanda dunia. Sosok Muhammad SAW seyogyanya bisa menjadi tempat untuk berguru sebagai pemimpin.
REFERENSI
Agus Triyono. (2010). Leadership’s Culture Sebagai Jawaban Atas Tantangan Kepemimpinan Di Era Kompetisi Global. Jurnal Unimus.
Husaini, A. (2016). 10 Kuliah Agama Islam. Yogyakarta: Omah Dakwah Pro U Media.
Junaedi, D. (2013). Benturan Estetis antara Liberalisme, Sosialisme, dan Islam. In The End Of Capitalism and The Prospects of Islamic Civilization. Jakarta.
Kuntowijoyo. (2007). Islam Sebagai Ilmu : Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Michael H. Hart. (2016). 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia. Jakarta: Mizan.
Nopriadi Hermani. (2016). The Model. (Adi Setiawan, Ed.). Yogyakarta: IKKJ Publisher.
Sendjaya. (2009). Krisis Kepemimpinan. Retrieved from http://www.glorianet.org/sendjaya/1460
comment 0 Comment
more_vert