Hari ke 11 perjalanan Cuti Part #1 masih belum bergeser dari Bandung tapi juga belum tau mau ke mana. Yang pasti, tidak untuk mengendap di kontrakan saja karena prinsip utama dalam perjalanan, "Selagi masih sehat, jelajahi sebanyak mungkin bumi Allah".
Untuk mencari referensi, ku minta Om Google memberi rekomendasi tempat healing yang dekat dari pusat Kota Bandung. Diantara banyaknya pilihan, otakku bersepakat untuk ke Taman Hutan Raya (Tahura). Kawasan asri yang memiliki banyak destinasi dan pastinya cukup mudah untuk dijangkau.
"Kita ke Tahura ayo! Jalan pagi sekalian hirup udara segar." ajakkku pada Ibu, Mail, dan Zia.
Tawaran ini diiyakan oleh Ibu dan Mail sedangkan Bumil memilih untuk istrahat di rumah. Demi efektivitas waktu, langsung siap-siap dan pesan Maxim. Untuk maxim mobil, dari kontrakan sampai pintu masuk Tahura dibanderol dengan biaya Rp.15 ribu. Sungguh hemat sekaliiii. Tanpa menunggu lama, orderan datang dan cuss berangkat.
Kondisi parkiran cukup lengang saat kami sampai. Hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor yang menghuni area aprkir. Hamparan pepohonan hijau dan hembusan udara segar menjadi atraksi alam yang memberikan sambutan selamat datang. Gerbang besar bertuliskan Gerbang Letjen Mashudi berdiri tegak menyongsong kedatangan kami.

Sebelum menjelajahi kawasan Tahura, kami lebih dulu membeli tiket di loket penjualan yang ruangannya menyatu dengan gerbang. Untuk wisatawan lokal, bea masuk dibanderol dengan harga Rp.17 ribu. Sebagaimana yang tertera di tiket Rp.15 ribu ditambah biaya retribusi Rp.2 ribu. Ini harga tahun 2023 yaaa!

Biar tidak nyasar dan jelajah hutannya lebih terarah, saya mengamati peta Objek Wisata yang terpampang jelas di salah satu sisi gerbang. Ternyata kawasan Tahura ini sangat luas. Diperkirakan mencapai 590 hektar yang membentang dari Curug Dago hingga Maribaya di Lembang. Sedikitnya ada 10 spot yang bisa dikunjungi di sepanjang rute seperti Curug atau Air Terjun, Goa, Museum, hingga taman bermain. Lebih jelasnya, bisa lihat peta di bawah ini.
Berhubung tujuan kami hanya untuk jalan tipis-tipis, jadi cukup kawasan yang dekat-dekat saja. Oh ya, tadi kami juga disambut oleh Pak Ridwan Kamil walaupun hanya dalam bentuk gambar dan pesan menohok, "Buanglah sampah pada tempatnya, Simpanlah mantan pada habitatnya." Eaaaaa šš
Melanjutkan perjalanan, kami mendapati petunjuk arah seputar Objek Wisata Tahura. Kesan perrtama di taman ini adalah udara yang sejuk, lingkungan yang bersih, serta kondisi aneka tanaman hijau yang tampak terawat.
Beberapa petugas kebersihan sibuk lalu-lalang melaksanakan tugas mereka. Sedangkan para pengunjung menikmati kawasan rindang ini dengan joging atau sekedar jalan santai bersama keluarga. Tahura benar-benar menjadi oase di tengah 'hutan beton' Kota Bandung. Tidak salah jika dijuluki sebagai jalur Penyangga Kehidupan.
Tak lama berselang, kami sampai pada dua persimpangan. Kami memilih untuk belok menuju arah kiri. Beberapa meter kemudian, sebidang kawasan terbuka tampak mencolok dengan adanya monumen di bagian tengahnya. Setelah mendekat, ternyata ini adalah monumen peresmian Tahura yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 14 Januari 1985, bertepatan dengan hari kelahiran Ir. H. Djuanda. Nama seorang pahlawan yang juga diabadikan sebagai nama Bandara di Surabaya.
Di bagian bawah monumen tertulis petikan Deklarasi Djoeanda. Bagi yang pernah mengecap bangku sekolah, tentu saja hal ini sudah tidak asing lagi. Tapi, apa sih yang terbayang saat memori itu kembali digali? Jangan-jangan hanya ingatan sekilas atau paling sebatas tanggal deklarasai ini diproklamirkan.
Padahal, ada makna berharga dari terbitnya buah pikir tokoh Muhammadiyah ini. Jujur sih, saya juga baru tau saat kuliah di UNISA. Waktu itu, salah satu dosen menampilkan sosok-sosok berpengaruh di Indonesia yang merupakan anggota Muhammadiyah. Nah, salah satunya Ir. Djoeanda.
Tapi, alih-alih hanya menyebutkan tanggal deklarasi, sang dosen justru melemparkan pertanyaan kurang lebih seperti ini, "ada yang tau sepenting apa Deklarasi Juanda?". Pertanyaan itu sukses membuat kelas auto hening.
Lalu, beliau menyajikan penjelasan singkat yang intinya bahwa :
Deklarasi ini berhasil merubah luas wilayah Indonesia yang tadinya hanya sekitar 2 juta km persegi menjadi 5 juta km persegi.
Lho, kok bisa?
Cek dan ricek, ternyata pada awalnya, peraturan internasional menetapkan bahwa setiap negara hanya berhak atas wilayah laut 3 mil dari lepas pantai sebuah pulau. 3 mil ini kalau dikonversi ke kilometer hanya sekitar 5 km. Artinya, melewati jarak 5 km dari bibir pantai sebuah pulau, laut itu tidak lagi menjadi wilayah Indonesia tetapi menjadi wilayah internasional yang bisa diklaim oleh negara mana saja.
Alhamdulillah, negara ini dikarunia ahli ilmu dan negarawan yang berpikiran jauh kedepan. Bukan soal dirinya atau keluarganya, tetapi soal keberlangsungan negeri ini. Mereka berpikir bahwasanya peraturan tersebut tidak bisa diberlakukan di negara Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau.
Andai saja gagasan itu tak pernah terlintas, sangat mungkin saat saya berkunjung ke Pulau Jawa hari ini, harus menggunakan paspor. Sebab sudah lewat jauh dari lepas pantai Pulau Sulawesi sebagai daerah asalku. Dan lebih parahnya lagi, dengan kekayaan laut Indoensia yang luar biasa, negara-negara lain akan saling bertikai memperebutkannya. Kedaulatan Indonesia menjadi sangat riskan.
Alhamdulillah, Ir. Djuanda yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri, bersama Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja selaku Ahli Hukum, berkolaborasi merumuskan konsep hukum yang meminta agar seluruh peraiaran diantara pulau-pulau di Indonesia, masuk dalam wilayah Indonesia. Isi lebih jelasnya bisa baca pada gambar di bawah ini.
Apakah setelah dideklarasikan langsung diakui begitu saja? Oh, tentu tidak. Negarawan lain harus mengambil peran dalam lobi-lobi internasional.
Dr. Hasyim Djalal yang saat itu menjadi diplomat gencar melakukan negosiasi khusunya di forum PBB. Tidak hanya beliau, Menetri Luar Negeri
Subandrio juga gigih memperjuangkan hal ini di kancah internasional.
Dan akhirnya, pada Tahun 1982, buah pikir dan perjuangan luar biasa tersebut mendapatkan pengakuan internaional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB. Pengakuan inilah yang mengubah peta wilayah Indoensia secara permanen dan memperkuat kedaulatannya.
Masya Allah sekali kan? Indonesia pernah loh punya pejabat se ber-integritas itu. Pemerintah yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk negeri ini. Kok, rasanya sekarang ini downgrade parah. š¢š¢
Jujur saja, menulis ini sambil berkaca-kaca. Rasanya emosi tingkat dewa lihat kelakuan pejabat-pejabat tidak tau diri yang hanya sibuk menumpuk harta dan memanjakan keluarganya. Yang kerjanya
blunder sana sini. š”š”
Oh ya, dari penjelasan dosen UNISA tersebut, saya jadi membatin, "ayo
dong para guru sejarah, ngajarnya jangan lagi sekedar hafalan. Tapi bisa di sajikan dalam bentuk
story telling agar bisa dipahami oleh para pelajar". Biar yang menerima ilmu tersebut tidak lagi sekedar hafal tanggal tapi juga tau makna dibalik setiap peristiwa.
Sejarah itu asli asik sekali dan mengandung banyak hikmah kalau dipahami.
Ok.... kembali ke cerita perjalanan ini. Dari monumen lanjut ke penangkaran rusa. Melihat dari dekat tingkah kawanan hewan bertotol unik tersebut. Ada yang sedang minum, ada pula yang tengah menikmati asupan makanan dari sang penjaga.
Tak perlu waktu lama, kami melanjutkan perjalanan. Mengikuti petunjuk arah menuju Goa Jepang dan Goa Belanda. Jalan menuju ke sana cukup sunyi. Alhamdulillah saya datang bersama ibu dan Mail, kalau datang sendiri pasti langsung balik belakang. Sampai di Goa Jepang, seorang guide menawarkan untuk masuk ke dalam. Tapi kami belum tertarik untuk singgah dan memutuskan terus berjalan.
Oh ya, di sepanjang rute ini, kami sering bertemu monyet ekor panjang yang tampak jinak. Ada yang berkelompok ada pula yang mandiri. Konon, asal tidak diganggu, mereka juga tidak akan bereaksi berlebihan. Jadi, jika melewati area ini, jalan santai saja. Monyetnya ramah-ramah kok. Malah, kadang lucu melihat interaksi mereka.
Ket : Monyet ekor panjang di jalan, pohon, dan atap
Tidak seberapa jauh dari Goa Jepang, sampailah kami di dekat Goa Belanda. Di Goa ini tampak lebih banyak pengunjung. Sejujurnya, saya penasaran dengan isi goa ini. Tapiii, ada rasa takut-takutnya juga. Mengingat Goa ini sering wara-wiri dalam program misteri di beberapa stasiun televisi.
Sembari mengamati goa yang terletak di sisi tebing curam ini, kami mampir di salah satu warung makan. Memesan mie rebus dan bandrek yang dibarter dengan uang Rp.25 ribu. Menikmati hidangan panas dipadu semilir udara sejuk rasanya wow amazing. šš
Beres makan, saya iseng melemparkan tawaran pada Ibu dan Mail, "Kita masuk ayooo!"
Alih-alih menolak, keduanya malah setuju. Kepalang tanggung karena sudah menawarkan, saya menyiapkan hati agar berani masuk. Beberapa doa saya rapalkan sebelum masuk dan selama berada di dalam. Agar lebih terarah, kami bersepakat untuk menyewa guide + 1 buah senter seharga Rp.35 ribu.
Dengan mengucap bismillah, kami memulai langkah menyusuri ruangan bawah tanah ini. Pemandu dengan cekatan langsung menjelaskan tentang situs yang dibangun pada tahun 1901 ini. Dalam goa terdapat 3 lorong utama dengan 15 ruangan. Ya, masih penjelasan umum lah ya.
Lalu, masuklah dipenjelasan tentang siapa yang mengeruk tanah di lorong-lorong ini hingga bisa jadi goa?
Yups, siapa lagi kalau bukan pribumi. Inilah bagian yang rasanya miris sekali. Tanah sekeras itu, dikeruk dengan alat seadanya seperti cangkul, sekop, palu, dan peralatan manual lainnya. Pengerjaannya full menggunakan tenaga manusia.
Bayangkan dengan alat-alat manual tersebut mereka harus melubangi tanah hingga mencapai tinggi sekitar 3 meter dan lebar 1,8 meter. Tanpa gaji yang pasti dan tanpa asupan yang memadai. Apalagi jaminan kesehatan. Big No.
Walhasil, banyak yang harus meregang nyawa di proyek-proyek seperti ini. Mereka dipaksa kerja dalam jangka waktu yang panjang, tidak ada kepastian konsumsi, tidak ada peralatan pelindung, dan pengawas yang sesuka hati menyiksa para pekerja baik secara fisik maupun verbal.
Dan lagi, kondisi di bawah tanah tentu saja berbeda dengan di luar. Saat kami masuk, mata harus melakukan adaptasi karena kondisi gelap di dalam Goa. Hawa pengap dan lembab langsung terasa. Plus ada horor-horonya juga.
Saya membayangkan, saat dulu para pekerja dipaksa masuk dalam jumlah besar. Sesak, pengap, dan gelap jadi kombinasi yang auto bikin sakit fisik maupun mental. š¢š¢š¢
Kalau ada pekerja yang sakit atau meninggalkan bagaimana?
Jangan bayangkan ada perawatan medis atau tempat yang layak untuk merawat yang sakit. Para pekerja yang tidak lagi 'berguna' ditelantarkan begitu saja. Kalaupun ada yang meninggal, perlakuan yang didapatkan jauh dari kata manusiawi. Jenazah bisa jadi dibuang di sungai, tebing, atau lubang-lubang sekitar goa. Sebagian referensi juga menyebutkan bahwa jenazah dalam jumlah besar, dikumpulkan lalu di kubur secara masal di sekitar hutan.

Ket : Kondisi menuju Goa Belanda. Di kelilingi hutan dengan banyak lembah dan jurang.
Mungkin ada yang berpikir, "Kok mereka mau sih?". That is called PENJAJAHAN shaaayyy. Tidak ada pilihan kecuali mengikuti kemauan penjajah. Mereka direkrut melalui perintah paksa, ditunjuk langsung oleh mandor atau priyayi setempat, lalu ada juga istilah Heerendiensten -peraturan kolonial bahwa rakyat wajib untuk membantu program pemerintah tanpa bayaran yang layak-.
Nah, Goa Belanda ini salah satu proyek yang awalnya diperuntukkan sebagai saluran air dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Namun, menjelang perang dunia ke-2, penjajah merenovasinya untuk keperluan militer. Tempat amunisi, logistik, dan persembunyian. Tempat ini juga jadi stasiun radio telekomunikasi yang digunakan untuk kontak-kontakan dengan sekutu di Samudera Pasifik.
Singkat cerita setelah Indonesia merdeka, goa ini diambil alih oleh TNI dan digunakan sebagai gudang amunisi sampai tahun 1976. Pasca 1976 hingga hari ini, Goa Belanda difungsikan sebagai objek wisata sejarah dan tempat penelitian geologi.
Runtutan penjelasan dari Guide memasukkan banyak rasa dan informasi baru. Satu hal yang selalu membuatku ingin menjelajah bumi Allah lebih banyak lagi. Selalu ada sudut pandang baru pada setiap jengkal tanah yang di jejaki. Jelajah Goa Belanda ditutup dengan foto berlatar mulut goa dan papan nama. Dengan sepenuh hati, saya melafal doa agar penjajahan dalam segala bentuknya, semoga tak lagi terjadi di negeri ini.
Oh ya, bagi teman-teman pembaca yang mencari cerita tentang Kafe Unik ala Kastil Eropa, nanti di Part 2 ya. Ternyata tulisan ini sudah kepanjangan jadi saya memutuskan untuk menuliskannya di
next post.
comment 0 Comment
more_vert