Hari
Pertama berada di Padang, saya memutuskan untuk berkunjung ke Museum
Adityawarman. Niat awalnya, tempat yang akan menjadi pembuka jelajah
Sumbar adalah Masjid Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi tapi berhubung kami keluar
di sore hari, jadi saya putuskan untuk ke museum terlebih dahulu. Setelah itu,
baru ke masjid sekalian untuk shalat Maghrib.
Perjalanan dimulai dengan memesan Maxim rute Siteba-Museum
Adityawarman dengan biaya sekitar 40 ribu. Letaknya yang berada di pusat kota,
membuat museum ini layak jadi destinasi kunjungan bagi yang hanya punya waktu
singkat di Kota Padang.
Dalam perjalanan, kami melewati beberapa tempat bertuliskan Nanggalo yaitu Pasar Nanggalo dan Taman Nanggalo. Setelah cek di google, ternyata Nangggalo adalah nama salah satu kecamatan dari 11 kecamatan di Kota Padang.
Saat tulisan ini dibuat, saya baru menyadari kalau saat menyusun ittinerary, tidak memasukkan satu tempat pun dalam Kota Padang sebagai target kunjungan selain Masjid Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Lantaran terlalu fokus untuk mengulik jejak sejarah tokoh-tokoh yang saya kagumi.
So, ada banyak hal tentang Kota Padang yang baru saya ketahui setelah mencari referensi untuk melengkapi draft catatan perjalanan. Salah satunya tentang Padang yang berada di tepi Samudera Hindia sehingga ditetapkan sebagai pintu gerbang Samudera Hindia di Indonesia. Dan, ada anekdot yang menyatakan, "Anda belum sah ke Padang kalau belum foto di Taman IORA."
Hikzz... apakah ini pertanda harus kembali lagi ke Padang? 😄😄
Kembali ke perjalanan kami, lepas dari Kawasan Nanggalo, mobil yang kami tumpangi menyusuri jalan yang bersebelah dengan laut. Di salah satu sisinya terbaca tulisan PADANG. Ingin rasanya, melipir sebentar tapi di rute Maxim sudah fix menuju museum.
Hampir sepanjang perjalanan, pemandangannya adalah laut. Nantilah dekat museum baru berbelok yang artinya lokasi museum ini tidak begitu jauh dari Pantai. Okey, otak muali menyusun rencana bahwa setelah mengunjungi museum, akan melipir sejenak di area Pantai.
Kami berhenti di depan gerbang masuk tepatnya di Jl.
Diponegoro No.10, Belakang Tangsi, Kec. Padang Bar. Dari gerbang lanjut ke pos
sederhana yang berfungsi sebagai loket tiket. Dengan selembar 5 ribuan,
pengunjung sudah mendapatkan tiket masuk. Petugas mengarahkan ke jalur yang
harus kami lewati untuk masuk ke area museum.
Hal pertama yang mencuri perhatian saya adalah monument berwarna keemasan yang menampilkan wajah 15 pahlawan asal Sumatera Barat. Di bagian atas terdapat tulisan Tamansari Pahlawan Nasional Asal Minangkabau. Nama para pahlawan terukir di sisi kanan dan kiri monumen yang terdiri dari Abdoel Halim, Ilyas Yakoub, Rasuna Said, Tuanku Imam Bonjol, Mohammad Natsir, Bagindo Azis Chan, Adnan Kapau Gani, Hamka, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Sutan Syahrir, Hazairin, H. Agus Salim, dan Abdul Muis.
Halaman museum ini ternyata sangat luas. Kedatangan kami
bertepatan dengan digelarnya Festival Musik dan Kesenian di halaman tersebut.
Hal ini tampak dari adanya panggung kegiatan dan stand-stand pendukung acara.
Melewati arena festival, pengunjung disambut sebuah tugu
bercat putih yang bagian atsanya berbentuk bulatan. Dan dibalik tugu itu lah
berdiri bangunan berbentuk rumah bagonjong atau rumah gadang yang ditandai
dengan atap khas serupa tanduk kerbau. Di depan bangunan utama terdapat dua
bangunan kecil yang disebut rangkiang. Dulunya, rangkiang ini berfungsi sebagai
tempat penyimpanan stok pangan di masyarakat Minangkabau.
WOW, senang sekaliiii... akhirnya bisa melihat bangunan
berbentuk rumah gadang secara langsung di Ranah Minang. Kurang afdhol rasanya
jika tidak mengabadikan momen di depan bangunan bersejarah ini. Tanpa menunggu
lama, saya dan Tina bergantian mengabadikan momen. Sore itu museum tampak sepi.
Hanya ada beberapa pengunjung yang kami temui.
Beres foto-foto lanjut menapaki anak tangga menuju ruang
utama. Kami diminta untuk mengisi buku tamu terlebih dahulu sebelum menyusuri
ruang-ruang museum. Kami lalu diarahkan untuk memulai kunjungan dari sisi
sebelah kanan. Sebuah ruangan yang didominasi warna merah dan kuning keemasan. Patung
pria dan wanita dalam balutan pakaian adat membuatku menerka-nerka bahwa ruang
ini menunjukkan dekorasi pernikahan ala Minang.
Di sini juga terdapat meja dan kursi yang dilingkari pita
merah sebagai batas pengunjung. Selanjutnya, saya pun mengamati berbagai benda
bersejarah yang terletak di dalam kaca. Ada kitab-kitab, ragam pakaian adat, aneka
perhiasan dari berbagai bahan, senjata, fosil, bahkan alat penunjang kehidupan sehari-hari.
Setiap benda diberi penjelasan singkat dan juga akses QR code bagi yang ingin
mendapatkan penjelasan lebih detail.
Melansir dari situs resmi Museum Asityawarman,
koleksi-koleksi ini terdiri dari Arkeologika, Biologika, Etnografika, Filologika,
Geologika, Historika, Keramalogika, Numismatika/Heraldika, Seni Rupa, dan
Teknologika. Jangan tanya ke saya maksud dari istilah-istilah ini, saya juga
kurang paham. Beberapa bahkan jadi pengetahuan baru.
Dari apa yang tertangkap oleh netra, tampaknya Islam memegang
peranan besar dalam Sejarah kehidupan Minang. Tampak dari banyaknya kitab-kitab
berbahasa Arab dan juga stempel kerajaan beraksara Arab.
Museum ini juga menampilkan kehidupan Masyarakat Minangkabau
dalam bentuk maket perkampungan di masa silam. Aneka potret lama pun bisa
dijumpai di tempat ini. Wanita-wanita Minang dengan berbagai busana dan
perhiasannya. Juga laki-laki Minang dengan aneka pakaian dan kegiatan yang
dilakukan.
Minagkabau sebagai salah satu kelompok etnis Metrilineal di
dunia dan satu-satunya di Indonesia, penjelasan tentang hal ini dijabarkan di
salah satu sisi museum. Di dekat tangga menuju lantai bawah, berjejer potret
tokoh-tokoh kebanggan Masyarakat Minang. Ada pula potret keindalahan alam Sumatera
Barat yang memantik rasa penasaran untuk berkunjung secara langsung.
Intinya, museum ini menjadi etalase jejak kehidupan Urang
Minang. Mulai dari asal usul, agama, dan pola hidup dengan semboyan 'Adat
Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah'. Dan yang paling menarik menurutku
adalah pola pendidikan bagi anak-anak Minang yang diurus oleh 3 unsur penting yang
dikenal dengan falsafah Tigo Tungku Sajarangan yakni Alim Ulama, Niniak Mamak,
dan Bundo Kanduang.
Posted by 

comment 0 Comment
more_vert