Cerita ini masih dalam rangkaian cuti Part 3. Dari Jakarta, saya dan Tina bergeser ke Bandung menggunakan Kereta Api. Dari Stasiun Pasar Senen, perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu sekitar 4 jam. Berhubung kami berangkat sore, jadi sampai di Bandung sudah malam.
Kami sampai di Stasiun Bandung kurang lebih pukul 20.00. Saya memutuskan naik Gocar menuju kontrakan My Bro Mail. Berhubung HP lagi krisis baterai jadi sebelum naik deal-deal harga dulu. Saat menulis ini, saya sebenarnya bingung, kok bisa HP ku lobet? Padahal di kereta disediakan fasilitas cas HP. Tapi, setelah kejadian ini saya menyadari bahwa bersebab lupa cas HP, saya dapat pelajaran baru.
Berawal dari Pak Sopir yang bilang bahwa tarif dari stasiun ke tempat tujuanku adalah Rp.46 ribu (posisi bapaknya sambil pegang HP dan cek harga aplikasi). Berhubung ini pertama kali saya ke kontrakan mereka yang baru, jadi saya pikir memang segitu tarifnya.
Tanpa berpanjang lebar, kami pun masuk mobil dan mulai jalan. Tidak berselang lama, sampailah di tempat tujuan. Kata bapaknya, cepat sampai karena ambil jalan pintas. Ok lah, aman. Sampai akhirnya Mail bertanya berapa biayanya. Saat saya sebutkan, dia heran karena biasanya hanya sekitar 20 ribuan. Ternyata, setelah di cek, biaya di aplikasi hanya 25 ribu.
Hmmm... cukup tau lah ya. Pelajaran juga untuk lebih aware kedepannya. Mending order sendiri kalau mau naik angkutan online.
But, it's ok. Yang penting sudah sampai dengan selamat dan Alhamdulillah bertemu Sumail Family. Specially, Asiyah cantik Masya Allah yang sudah lebih bersahabat dibanding waktu ketemu di Jogja. Ya, walaupun masih belum mau di gendong.
Esoknya, saya pinjam motor Mail buat OTW Pasar Baru dalam rangka mencari pesanan orang-orang. Sempat worry juga perkara naik motor ini karena kondisi jalanan Bandung yang padat merayap. Tapi, saya percayakan sama Bu Thinces untuk jadi driver. Alhamdulillah sepanjang berkendara, aman-aman saja.
Dari Pasar Baru, kami mampir di Masjid Raya Bandung yang terletak di alun-alun untuk shalat. Sekaligus juga menikmati sore di salah satu spot ngumpul favorit warga Kota Kembang. Niatnya sekaligus mau duduk-duduk santai di hamparan rumput sintetis di sekitar masjid. Sayang sekali, saat selesai shalat, area ini sudah ditutup. Cek per cek ternyata sedang ada proses renovasi sehingga sejak Agustus-November 2025, tempat ini ditutup.
Saya pun berjalan menuju Tugu Asia Afrika. Tugu legendaris yang masih kokoh berdiri hingga kini. Berbeda dari kedatangan Tahun 2024, saat ini di sisi tugu Asia Afrika terdapat plang nama BDG ❤️ PALESTINA. Masya Allah. Auto ambil kamera lalu cekrek.
Berhubung waktu sudah hampir malam dan cuaca tidak bersahabat, kami memutuskan untuk pulang. Menghabiskan waktu dengan cerita-cerita dan main dengan Asiyah dan Umma nya.
Hari ke-3 di Bandung, saya memutuskan untuk ikut Mail ke ITB. Diantara 3 besar kampus andalan, tersisa 1 ini yang masih bersih dari huru hara. Sedangkan 2 lainnya, 1 tersandungkasus ijazah palsu S1 sedang yang 1 tersandung ijazah ekspres S3. Sungguh sangat disayangkan.
Tujuan utama ikut ke ITB ini adalah untuk melihat tempat kerja si bapak Peneliti. Tepatnya di Laboratorium Farmasi Bahan Alam. Jujurly, ini jadi salah satu kebanggan ku sebagai kakak. Meliihat adiknya berkiprah di tempat yang bahkan dulu rasanya sangat jauh dan sulit untuk digapai. Barakallah Ma Bro.
Berhubung Mail ada kerjaan jadi saya bergeser ke Masjid Salman. Masjid yang sepertinya tidak pernah absen saya kunjungi saat berada di Bandung. Suka sekali sama vibes nya. Dikelilingi pohon rindang dengan bangunan yang nyaman dan iklim keilmuan ITB yang persis berada di seberang nya. Tidak heran, di sini banyak dijumpai mahasiswa dengan berbagai aktivitasnya.
Masjid ini juga memilki keunikan dari segi arsitektur sebab bangunan nya tak disanggah tiang tengah. Desain demikian menarik kampus-kampus lain untuk melakukan studi banding. Dari masjid ini pula lahir program-program unggulan yang menginspirasi dalam pengelolaan dana masjid.
Berhubung saat saya datang bedekatan dengan waktu shalat Jumat, jadi tidak bisa masuk ke dalam masjid. Saya pun memutuskan untuk masuk ke Perpustakaan Masjid Salman atau dikenal juga dengan Salman Reading Corner. Ruang baca yang tidak terlalu luas tapi entah mengapa rasanya sangat nyaman berada di sini.
Tempat ini menginspirasi keinginan bahwa suatu saat, saya ingin membuat hal serupa. Ruang baca di sisi masjid di tanah kelahiran. Entah kapan ada yang mau ajak Collab. Saya punya sejumlah buku yang bisa digunakan sebagai bahan baca di perpustakaan sederhana.
Di SRC saya memilih buku karya Js Khairan berjudul 'Kami Bukan Generasi Bacot'. Membaca sembari menunggu Mail untuk makan siang bersama di Kantin Salman. Kantin andalan yang menyajikan beragam menu nikmat dengan harga terjangkau.
Beres makan, kembali lagi ke ITB. Kali inn agendanya cekrek di berbagai spot foto khas ITB seperti tugu persemian, kolam Indonesia Tenggelam (entah siapa yang memberi nama seperti ini?), dan tentu saja di tangga yang terpampang nama-nama alumni ITB berdampak luas. Salah satunya keluarga Subakat -Subakat Hadi, Nurhayati Subakat, dan Harman Subakat-. Tidak menyangka, bertemu lagi dengan Ibu Nurhayati Subakat setelah sebelumnya 'bertemu' di Diniyyah Puteri Padang Panjang. Walaupun sekedar bertemu nama nya tapi tetap saja sosok beliau salah satu muslimah yang patut jadi inspirasi.
Beres foto-foto, saya dan Mail berpisah. Dia kembali ke tempat kerjanya, sedang saya, uji coba masuk di perpustakaan ITB. Sebelum masuk, bertanya dulu ke Om Google, "apakah di perpustakaan ITB ada novel?" Jawabannya, "Iya. Biasanya ada di lantai 2."
Maka dengan PD nya, saya pun masuk. Untuk pengunjung umum, terlebih dahulu mengisi data diri dengan cara scan barcode yang terpampang di depan petugas perpustakaan lantai 1. Saat datang, suasananya sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak serius dengan buku maupun laptopnya. Saya langsung ke lantai dua untuk mencari bacaan ringan. Naik tangga melalui sisi bagian kiri gedung.
Nyatanya, info Om Google tak sesuai realita. Alih-alih dapat novel, malah ditabrak bejubel referensi Teknik dengan bahasa Inggris. WOW sekaliiii.... Coba peruntungan di lantai 3, nyatanya masih tidak ada. Dan saya pun lanjut ke lantai 4. Ternyata disini ada buku-buku umum tetapi mayoritas buku lama dengan lembaran berwarna kuning.
Tak dapat yang dicari, saya pun memutuskan pulang ke kontrakan karena malamnya harus kembali menikmati guncangan ular besi menuju Surabaya.
Posted by 

comment 0 Comment
more_vert